BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis/suku
bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat
Indonesia dihadapkan kepada perbedaan-perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari
kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya. Yang menjadi
perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan
antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama
ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang selanjutnya kita
sebut sebagai “pernikahan beda agama’.Pernikahan merupakan suatu ikatan yang
sangat dalam dan kuatsebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita
dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga.
Pernikahan beda agama
bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan hukum yang sangat penting bagi
seseorang. Hal ini berarti menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang
berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan pernikahan sesuai
dengan hukum agamanya masing-masing. undang-undang perkawinan Indonesia yaitu
pasal 1 dan pasal 2 UU perkawinan No. 1 tahun 1974.
Seperti yang tercantum dalam undang-undang
nomor 1 tahun 1974 pasal 1 yang bila di perinci yaitu :
1. Perkawinan
adalah Ikatan lahir bathin antara seorang Pria dan seorang wanita sebagai
Suami-Isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
2. perkawinan
bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, Akan tetapi juga mempunyai unsur
bathin atau rohani mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk
keluarga yang bahagia dan sejahtera.
3. Ikatan
lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan pada Ketuhanan Yang
Maha Esa
pernikahan, tidaklah lepas dari kehadiran
seorang anak diantara mereka. Anak merupakan hal terindah yang dimiliki dalam sebuah keluarga, pentingnya sebuah
pendidikan yang baik adalah hal utama yang diberikan pada anak oleh orangtua,
begitupan dalam penanaman nilai-nilai agama, mengingat begitu pentingnya agama
sebagai dasar moral bagi seorang anak. Namun bagaimana bila anak dalam sebuah
keluarga yang memilki orangtua berbeda agama, pendidikan agama seperti apa yang
akan diberikan orangtua dalam keluarga, bagaimana orangtua mengenalkan pebedaan
yang ada, dan hal-hal tersebut tentunya baik atas dasar kompromi orangtua atau
mungkin semua akan berjalan tanpa ada komitmen apapun sebelumnya dari orangtua.
Apapun keadaan yang telah dikompromi atau belum terkompromi oleh orangtua,
belum tentu nantinya akan dapat diterima oleh anak.
Peran orang tua dalam
menanamkan kepercayaan atas Tuhan kepada anak dan remaja pastilah sangat
penting. Kebenaran pandangan ini sekurang-kurangnya disampaikan Artanto (2006) melalui
penelitian yang bertopik Konsep Tuhan pada Anak Usia Akhir Operasional
Kongkrit. Artanto mengungkapkan bahwa gagasan yang dimiliki anak mengenai tuhan
lebih merupakan doktrin yang dihasilkan dari pengajaran.
Dalam sebuah keluarga
anak dapat memilih agama yang akan di yakini ayah atau ibunya, bila dalam satu
keluarga tersebut memiliki anak lebih dari satu, kemungkinan anak-anak nya
memiliki perbedaan agama antara kakak dan adik, atau orang tuanya sudah
menegosiasikan masa depan agama anaknya sejak awal akan ikut ayah atau ibunya. Pada situasi
tersebut baik secara langsung atau tidak langsung tentunya akan membawa
kebinggungan pada anak, karena norma dan nilai pada masa anak-anak diperoleh
melalui dari kecil melalui proses imitasi, indentifikasi, asimilasi dan
sosialisasi dengan orang lain seperti orang tua, teman, guru dan orang terdekat
lainnya Lute (dalam Monks, 2002) , pada hal ini tentunya orang tua memiliki
peran yang besar dalam proses penanaman nilai baik pada anaknya karena orang
tua adalah tempat awal kehidupan anaknya.
Pernikahan
pada pasangan yang berbeda agama adalah suatu kontroversi tersendiri dalam
hidup keberagamaan di masyarakat.pada pasangan keluarga beda agama tentunya
tidak hanya timbul konflik antara kedua pasangan atau orang tua namun juga
terjadi konflik bagi anak. peneliti tentunya merasa tertarik untuk lebih
mengetahui, mengungkap konflik-konflik
yang di alami anak dalam keluarga pasangan beda agama khususnya dari segi
konflik moral pada anak tersebut dan bagaimana perkembangan keagamaan pada
dirinya.Agama tentunya menjadi konflik tersendiri dalam proses penanaman dan
pemilihanya.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan
permasalahan tersebut diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1.
Bagaimana konflik moral yang dialami
anak pada pasangan berbeda agama
2.
Bagaimana dampak konflik moral terhadap
perkembangan anak sehubungan dengan konflik moral yang dialami anak pada
pasangan berbeda agama.
C.
Tujuan Penelitian
Peneliti memiliki
tujuan mengetahui dan mengungkap konflik-konflik pada pasangan beda agama yang
terjadi khususnya bagaimana konflik
moral yang dialami anak dan bagaimana dampak konflik moral terhadap
perkembangan anak tersebut.
D.
Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan
terhadap khasanah ilmu pengetahuan dan sebagai bahan kajian ilmiah dalam
psikologi perkembangan pada umumnya dan khususnya dalam perkembangan anak.
2. Manfaat
Praktis
Penelitian ini menjadi masukan bagi orang tua dengan
status perkawinan beda agama diharapkan
mampu memahami dan memperhatikan proses perkembangan diri anak dan dampak
psikologi serta tetap mendampingi anak-anaknya dalam perkembangan agamanya.
BAB
II
Tinjauan
Pustaka
A.
Konflik Moral
1. Pengertian Konflik
Moral
a. Pengertian Konflik
Giddens (dalam Susan,
2009:31) mengemukakan bahwa pendekatan primordial menganggap konflik sebagai
akibat dari pergesekan kepentingan kelompok identitas, seperti; identitas yang
berbasis pada etnis, keagamaan, budaya, geografis, bangsa, bahasa, tribal,
kepercayaan, religius, kasta, dan lain sebagainya. Pendapat Giddens menyiratkan
makna bahwa pendekatan primordial melihat identitas-identitas tersebut
merupakan potensi konflik, dimana potensi konflik itu dibentuk melalui
serangkaian proses panjang, yang diwariskan secara turun-temurun melalui
sosialisasi dalam institusi keluarga. Adanya hal ini memperkuat asumsi bahwa
potensi tersebut telah mengakar dalam diri individu.
Konflik merupakan
sesuatu yang biasa terjadi dalam kehidupan individu ketika seseorang dihadapkan
pada dua atau beberapa hal yang saling bertentangan. Konflik terjadi jika seseorang
dihadapkan pada aspek-aspek yang berbeda atau bertentangan. Freud dengan
penelitian psikoanalisis menyatakan bahwa konflik adalah bagian dari dinamika
kepribadian seseorang. Melalui pembentukan id, ego, dan super ego seseorang
akan mengalami konflik antara apa yang diinginkan dengan apa yang seharusnya
diinginkan dan bagaimana realita disekitarnya (Shantz dan Hartup, 1992)
b.
Pengertian Moral
Secara etimologis
istilah moral berasal dari kata latin mos (mores) yang berarti tata cara, adat
istiadat atau kebiasaan. Kata moral mempunyai arti yang sama dengan kata Yunani
ethos, yang menurunkan kata etika. Bahasa Arab kata moral disebut dengan akh/ak
yang berarti budi pekerti, sedangkan dalam bahasa Indonesia kata moral dikenal
dengan arti kesusilaan (Adiwardhana, 1991: 55).
Hurlock (1978)
mengemukakan bahwa tingkah laku moral berarti tingkah laku yang sesuai dengan
kode moral kelompok sosial. Pengertian ini hampir sama dengan pendapat sebagian
besar ahli psikologi dalam menerangkan masalah moral. Penganut teori
behaviorisme menyatakan bahwa moralitas identik dengan konfonnitas terhadap
aturan-aturan sosial. Nilai moral merupakan evaluasi dari tindakan yang
dianggap baik oleh anggota masyarakat tertentu. Dengan demikian jelas bahwa
pemahaman moral merupakan proses internalisasi dari norma budaya atau norma
dari orangtua (Setiono, 1993).
c.
Konflik Moral
Thoulles (1992: 20)
menyatakan konflik moral merupakan konflik psikologik dimana salah satu cara
untuk menunjukan realitas ini adalah bahwa dia cenderung mengembangkan perasaan
bersalah ketika dia berperilaku dengan cara yang dianggap salah oleh pendidikan
sosial yang diterimanya
Setiono (dalam
Muslimin, 2004: 50) menjelaskan bahwa menurut teori penalaran moral, moralitas
terkait dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana orang sampai pada
keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk. Moralitas pada dasarnya
dipandang sebagai pertentangan (konflik) mengenai hal yang baik disatu pihak
dan hal yang buruk dipihak lain. Keadaan
konflik tersebut mencerminkan keadaan yang harus diselesaikan antara dua
kepentingan, yakni kepentingan diri dan orang lain, atau dapat pula dikatakan
keadaan konflik antara hak dan kewajiban.
Berdasarkan pendapat
dari beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian konflik moral
adalah sebuah aturan moral yang berkaitan erat dengan aturan-aturan yang
dipandang sebagai pertentangan (konflik) antara dua kepentingan ,kepentingan
diri dan orang lain.
2.
Ciri-ciri Konflik Moral
untuk mengetahui
konflik moral, berikut ciri-ciri umum konflik moral:
a. Kesalahpahaman
Ciri umum pertama
adalah kecenderungan masing-masing pihak untuk terjadi salah paham atas
kata-kata dan tindakan pihak yang lain. Masyarakat dari tradisi yang tidak
sebanding mungkin akan mengalami masalah dalam berkomunikasi karena mereka
bergantung ada sistem arti, norma komunikasi, dan aturan tingkah laku yang
berbeda.
b. Ketidakpercayaan
Ciri umum konflik moral
yang kedua adalah kecenderungan para anggota kelompok untuk tidak mempercayai
dan curiga terhadap kelompok lain, bahkan juga menumbuhkan rasa bahwa kelompok
lain memiliki potensi untuk membahayakan kelangsungan hidup kelompoknya. Dengan
adanya perbedaan dalam hal nilai dan sistem arti tersebut, tindakan yang
dilakukan
oleh salah satu pihak untuk
menyelesaikan konflik seringkali akan disalahartikan sebagai tindakan mengancam
bagi pihak yang lain.
c. Komunikasi yang Kaku dan Kasar
Ciri umum lain dari
konflik moral adalah adanya kekakuan hubungan dan komunikasi antar pihak.
Ketika retorika komunikasi terdiri dari timbal-balik alasan untuk membentuk
kepercayaan bersama, maka pola komunikasi dalam konflik moral justru terdiri
dari serangan personal, seperti celaan
dan kata-kata kasar.
d. Stereotipe Negatif
Percakapan seringakali
mengandung generalisasi terhadap anggota kelompok lain. Pihak yang terlibat
dalam konflik moral cenderung, hanya dengan berdasarkan dugaan, mengelompokkan
dan mencela kepribadian, intelegensia, dan perilaku sosial pihak lawannya.
Mereka akan membentuk stereotipe negatif dan menyandangkan degradasi moral atau
karakter negatif
lainnya kepada pihak yang tidak sesuai
dengan budaya mereka, dengan mengesampingkan anggota meyimpang dari pihaknya
sendiri, dan menganggap seluruh anggota kelompoknya sebagai berbudaya. Hal ini
seringkali disebut oleh psikolog sebagai kesalahan anggapan (attribution error).
e. Ketiadaan Negosiasi
Sistem kepercayaan ini
mengakibatkan asumsi-asumsi penting dan cara pandang global tidak bisa
dikompromikan. Keterikatan yang kuat terhadap ideologi bisa membuat seseorang
susah untuk mendekati pihak yang memiliki cara pandang berbeda dengan pikiran
terbuka
Berdasarkan ciri-ciri
konflik moral peneliti menyimpulkan bahwa untuk mengetahui ciri konflik moral
secara umum terjadi dari dalam dan dari luar individu itu sendiri, dari dalam
individu seperti munculnya ketidak percayaan pada pihak atau kelompok lain
muncul kecenderungan terhadap perbedaan nilai atau arti sebuah sistem, dan dari
luar individu seperti terjadinya kesalahan komunikasi antara satu pihak dengan
pihak lain.
3.
Bentuk Konflik Moral
Hampshire membedakan
dua bentuk konflik moral, yang keduanya berhubungan dengan dilema pelaku
tunggal (Decew, 1990: 27), yakni :
a)
Dimana dua sumber cita-cita moral saling
bersaing. Adanya cita-cita abstrak dan tanpa batas waktu yang sangatlah alamiah
dan universal dan juga memunculkan tanggung jawab-tanggung jawab yang menurut
kita tidak bisa kita abaikan sebagai manusia. Tetapi pada saat yang sama, kita
juga memiliki cita-cita yang lebih pribadi yang berasal dari tradisi atau
kesepakatan, yang kemudian memunculkan aturan-aturan moral yang beragam dan
berbagai tanggung jawab yang bisa diubah dan bersifat sementara. Begitu juga
dengan standar moral dan prinsip-prinsip yang muncul dari dua sumber tersebut.
Itulah yang menyebabkan tanggung jawab moral kita seringkali bertentangan.
b)
Ada konflik yang muncul karena pilihan
moral. Setiap kali pilihan moral atau politik dibuat, pasti ada konsekuensi
etisnya. Dengan menggunakan bentuk keadilan alternatif, Hampshire menggambarkan
konflik yang dialami seseorang saat memilih dua hal yang tampaknya sama, pada
akhirnya malah membuatnya kehilangan pilihan alternatif yang sebenarnya lebih
baik.
Berdasarkan
bentuk-bentuk konflik moral Hampshire (Decew, 1990) peneliti menyimpulkan dalam
sebuah aturan-aturan standart moral dan prinsip-prinsip terkadang bertentangan
dengan tanggung jawab dan munculnya konflik karena pilihan moral dalam
menentukan dua pilihan untuk menentukan hal yang benar dan hal yang salah.
B.
Anak Pasangan Beda Agama
1. Pengertian Anak
Pasangan Beda Agama
Anak
pasangan beda agama adalah hasil hubungan antara laki-laki dewasa dan wanita
dewasa yang menjalin ikatan secara hukum. Pada awalnya anak pasangan beda agama
ini tumbuh secara normal seperti kehidupan anak pada umumnya yang membedakan
hanya pada status sosial pada anak yang kelak memberikan identitas dirinya pada
masyarakat ada awalnya saat masih kecil,
anak akan hanya mengalami kebinggungan-kebinggungan dalam tata cara ibadah,
namun dengan perkembangannya anak akan tumbuh dewasa dan menjadi seorang
remaja, disini dampak dalam perbedaan agama akan sangat mempengaruhi anak dalam
situasi-situasi yang ada. Pada tahap ini mereka diliputi kebimbangan akan jati
dirinya, dalam rangka mencari identitas ini, kaum remaja berkewajiban
merumuskan nilai-nilai idealnya, kemudian mengintegrasikan nilai-nilai tersebut
pada filsafat kehidupannya untuk melakukan suatu pilihan-pilihan penting yang menentukan
masa depannya (Arto, 1990 dalam Waruwu 2003). Disini komponen religi pun turut
serta berada dalam krisis. Kaum remaja berupaya menemukan berbagai potensi yang
ada dalam dirinya dan mencoba mencapai suatu integrasi baru dengan mengolah
seluruh keberadaannya hingga kini, termasuk juga keyakinan-keyakinan
religiusnya (Milanesi & Aletti, 1973 dalam Waruwu, 2003). Anak akan
mempertanyakan kembali akan keyakinan-keyakinan yang ia terima dalam keluarga.
Dan situasi yang dalam hal ini perbedaan agama, anak akan mengalami
konflik dalam dirinya berkaitan dengan nilai-nilai yang berbeda.
Menurut Fowler (dalam Desmita, 2009:279) tahap perkembangan
spiritual dan keyakinan dapat berkembang hanya dalam lingkup perkembangan
intelektual dan emosional yang dicapai oleh seseorang. Dan ketujuh tahap
perkembangan spiritual yaitu:
a)
Tahap
prima faith. Tahap kepercayaan ini
terjadi pada usia 0-2 tahun yang ditandai dengan rasa percaya dan setia anak
pada pengasuhnya. Kepercayaan ini tumbuh dari pengalaman relasi mutual. Berupa
saling memberi dan menerima yang diritualisasikan dalam interaksi antara
anak dan pengasuhnya.
b)
Tahap
intuitive-projective, yang
berlangsung antara usia 2-7 tahun. pada tahap ini kepercayaan anak bersifat
peniruan, karena kepercayaan yang dimilikinya masih merupakan gabungan hasil
pengajaran dan contoh-contoh signitif dari orang dewasa, anak kemudian berhasil
merangsang, membentuk, menyalurkan dan mengarahkan perhatian sepontan serta
gambaran intuitif dan proyektifnya pada
ilahi.
c)
Tahap
mythic-literalfaith, Dimulai dari
usia 7-11 tahun. pada tahap ini, sesuai dengan tahap kongnitifnya, anak secara
sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya. Gambaran tentang
tuhan diibaratkan sebagai seorang pribadi, orangtua atau penguasa, yang bertindak
dengan sikap memerhatikan secara konsekuen, tegas dan jika perlu tegas.
d)
Tahap
synthetic-conventionalfaith, yang
terjadi pada usia 12-akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Kepercayaan
remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran tentang simbolisme dan memiliki
lebih dari satu cara untuk mengetahui kebenaran. Sistem kepercayaan remaja
mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya, namun kesadaran
kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal, sehingga menjadikan remaja
melakukan kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan oleh lembaga keagamaan resmi
kepadanya. Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan
yang transenden melalui simbol dan upacara keagamaan yang dianggap sakral.
Simbol-simbol identik kedalaman arti itu sendiri. Tuhan di pandang sebagai
“pribadi lain” yang berperan penting dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu,
Tuhan dipandang sebagai sahabat yang paling intim, yang tanpa syarat.
Selanjutnya muncul pengakuan bahwa Tuhan lebih dekat dengan dirinya sendiri.
Kesadaran ini kemudian memunculkan pengakuan rasa komitmen dalam diri remaja
terhadap sang khalik.
e)
Tahap
individuative- reflectivefaith, yang
terjadi pada usia 19 tahun atau pada masa dewasa awal, pada tahap ini mulai
muncul sintesis kepercayaan dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaan
tersebut. Pengalaman personal pada tahap ini memainkan peranan penting dalam
kepercayaan seseorang. Menurut Fowler (dalam Desmita 2009:280) pada tahap ini
ditandai dengan:
a. Adanya kesadaran terhadap
relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain, individu mengambil jarak
kritis terhadap asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu.
b. Mengabaikan kepercayaan terhadap
otoritas eksternal dengan munculnya “ego eksekutif” sebagai tanggung jawab
dalam memilih antara prioritas dan komitmen yang akan membantunya membentuk
identitas diri.
f)
Tahap
Conjunctive-faith, disebut juga
paradoxical-consolidationfaith, yang dimulai pada usia 30 tahun sampai masa
dewasa akhir. Tahap ini ditandai dengan perasaan terintegrasi dengan
simbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang
juga lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan yang paradoks dan bertentangan,
yang berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan pembatasan seseorang.
g)
Tahap
universalizing-faith, yang berkembang
pada usia lanjut. Perkembangan agama pada masa ini ditandai dengan munculnya
sistem kepercayaan transcidental untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta
adanya desentralisasi diri dan pengosongan diri. Peristiwa-peristiwa konflik
tidak selamanya dipandangan sebagai paradoks, sebaliknya, pada tahap ini orang
mulai berusaha mencari kebenaran universal. Dalam proses pencarian kebenaran
ini, seseorang akan menerima banyak kebenaran dari banyak titik pandang yang berbeda
serta berusaha menyelaraskan perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain
yang masuk dalam jangkauan universal yang paling tua.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli pada anak pasangan beda
agama peneliti menyimpulkan bahwa anak pada pasangan beda agama mengalami
beberapa tahap perkembangan dari usia dini hingga usia lanjut kususnya dalam
perkembangan spiritual
2.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Spritual
Menurut
Fowler dalam Desmita (2009:285) ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan
spiritual individu yaitu :
a) Pembawaan
Yang dimaksud pembawaan disini
adalah karakteristik dari orang itu sendiri, dasr pemikiran dari individu
barsarkan kepercayaan dan budaya dimilikinya.
b) Lingkungan keluarga
Keluarga sangat menentukan perkembangan
spiritual anak karena orang tua lah yang berperan sebagai pendidik atau penentu
keyakinan yang mendasari si anak.
c) Lingkungan sekolah
Pendidkan keagamaan yang diterapkan
disekolah dapat mempengaruhi perkembangan spiritual anak, karena dengan adanya
pendidikan anak akan mulai berpikir secara logika dan menentukan apa yang baik
dan tidak bagi dirinya dan kelak akan menjadi karakter anak tersebut.
d) Lingkungan masyarakat
Kebaradan budaya yang ada yang ada
dimasyarakat akan mempengaruhi perkembangan anak. Apakah perkembangannya menuju
arah yang baik (positif) dan yang (negatif) itu semua tergantung pada bagaimana
cara anak berinteraksi dengan masyarakat.
Berdasarkan faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan spiritual, peneliti menyimpulkan bahwa perkembangan
spiritual dapat dilihat dari faktor internal dan eksetranal, dari faktor
internal seperti pembawaan karakteristik orang itu sendiri dan lingkungan
keluarga dan faktor eksternal meliputi lingkungan sekolah dan masyarakat
C. Konflik Moral Anak Pasangan Beda
Agama
Pernikahan
beda agama adalah pernikahan yang sangat rentan konflik. Agama yang menjadi
dasar bagi setiap individu sebagai falsafah hidup atau solusi setiap masalah.
Setiap agama memiliki nilai-nilai dan aturan yang berbeda-beda walaupun secara
universal, setiap agama itu baik. Agama menjelaskan manusia cara memandang
dunia seharusnya berjalan. Selain itu, agama juga memberikan aturan dan norma
yang menjelaskan tentang apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh
dilakukan, hal ini berkaitan dengan pahala dan dosa. Norma ini disebut landis
sebagai sebuah kontrol sosial (Kusuma, 2006). Agama juga mengatur tentang
beberapa peristiwa penting dalam kehidupan manusia, misalnya kelahiran,
pubertas, perkawinan dan kematian. Ajaran setiap agama itu baik namun tetap
saja perbedaan-perbedaan nilai-nilai yang ada secara spesifik berbeda. Seperti
mengenai hukum halal-haram dalam islam, sedangkan pada agama lain mungkin tidak
ada hukum tersebut. Dalam kehidupan perkawian akan banyak dijumpai stresor psikososial
lainnya selain perbedaan agama, yaitu antara lain masalah pekerjaan, keuangan,
sosial-ekonomi, lingkungan, hubungan interpersonal, masalah perkembangan,
problem oarng tua dan sebagainya. Di tinjau dari kesehatan jiwa (mental health)
pernikahan antar agama menagndung resiko terjadinya konflik-konflik kejiwaan
yang pada gilirannya dapat mernurunkan taraf kesehatan dari salah satu pasangan
atau keduanya, demkian juga dengan
perkembangan jiwa anak (hawari, 2006: 112).
Berdasarkan beberapa ahli tersebut peneliti menyimpulkan
konflik moral pada anak pasangan berbeda agama tidak hanya di tinjau dari
kehiduan kedua pasangan atau stressor psikososial seperti pekerjaan, keuangan, sosial-ekonomi, lingkungan, hubungan
interpersonal, namun juga perkembangan yang dialami pada anak pasangan berbeda
agama dengan tahapan usia dari usia dini hingga usia lanjut.
D. Kerangka Teori Penelitian
Anak Pasangan Beda Agama
Konflik
Moral
Perkembangan
Anak Pasangan beda agama
Mengalami
kebingungan dalam beribadah Konflik
dalam menentukan agama anak
/ Tata
cara
Proses
tumbuh dalam lingkungan sosial
Penentuan jati diri / Identitas (Status Sosial)
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A. Metode Penelitian Kualitatif
Berdasarkan sifat masalahnya penelitian ini menggunakan metode
kualitatif, dimana dalam pendekatannya mempertimbangkansuatu peristiwa yang
mempunyai makna dan arti tertentu yang tidak bisadiungkap secara kuantitatif,
atau dengan angka-angka. pendekatan kualitatif, Bogdan dan Taylor sebagaimana
(dikutip Moleong, 2001: 3), mendefinisikan “pendekatan kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”
Nawawi (2005: 3)
menyebutkan bahwa dalam metode kualitatif terdapat usaha untuk mengungkap
maslah atau peristiwasebagaimana adanya. Lebih lanjut, penelitian ini akan
mengolah data-data yang sifatnya deskriptif. Data deskriptif ini memiliki
berbagai macam bentuk, misalnya tanskripsi (data dari sumber-sumber referensial,
hasil wawancara baik primer maupun sekunder, dan catatan lapangan hasil
observasi), gambar-gambar, foto, rekaman hasil wawancara dan sebagainya
(Poerwandari, 2001, h.29)
Di dalam penelitian ini, penekatan yang digunakan adalah fenomenologi
dengan paradigma naturalistik. Menurut Poerwandari (2001, h.30-31), memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
1. Studi dalam situasi alamiah
Desain penelitian kualitatif bersifat alamiah dalam arti peneliti
tidak berusaha untuk memanipulasi setting penelitian melainkan studi terhadap
suatu fenomena dalam situasi dimana fenomena tersebut ada.
2. Analisis induktif
Dikatakan induktif karena peneliti tidak memaksakan diri untuk
hanya membatasi diri pada menerima atau menolak digaan-dugaan melainkan mencoba
memahami situasi sesuai dengan bagaimana situasi tersebut menampilkan diri.
Analisis induktif dimulai dengan observasi khusus yang akan memunculkan
tema-tema, kategori-kategori dan pola-pola hubungan di antara kategori-kategori
tersebut.
3. Kontak personal langsung : peneliti di lapangan
Pemahaman situasi nyata sehari-hari merupakan hal yang sangat
penting karena hal tersebut akan memungkinkan adanya pengertian tentang tingkah
laku yang tampak maupun kondisi-kondisi internal manusia seperti pendangan
hidupnya, nilai-nilai yang dipegang, pemahaman tentang diri dan lingkungan,
bagaimana peneliti mengembangkan pemahaman itu dan sebagainya.
4. Perspektif
holistikPendekatan holistik mengamsumsikan bahwa keseluruhan fenomena
perlu dimengerti sebagai suatu sistem yang kompleks dan bahwa yang menyeluruh tersebut
lebih bermakna dari pada penjumlahan bagian-bagian.
5. Perspektif dinamis, perspektif perkembangan
Penelitian kualtatif melihat gejala sosial sebagai sesuatu yang dinamis
dan berkembang bukan sebagai sesuatu yang statis dan tidak berubah dalam
perkembangan kondisi dan waktu.
6. Orientasi pada kasus unik
Studi kasus sangat bermanfat ketika merasa perlu memahami suatu
kasus spesifik, orang-orang tertentu, ataupun situasi unik secara mendalam.
7. Netralis empatik
Netralis disini mengacu pada sikap peneliti terhadap subjek penelitian.
Peneliti dengan netralis empatik akan memasuki arena penelitian apa adanya
tanpa teori yang harus dibuktikan dan dugaan-dugaan tentang hasil yang harus
didukung atau ditolak.
8. Fleksibilitas desain
Sifat alamiah dn induktif dari penelitian kualitatif tidak memungkinkan
peneliti menetukan secara tegas variabel-variabel operasional, menetapkan hipotesis
yang akan diuji maupun menyelesaikan skema pengambilan sampel sebelum ia
sungguh-sungguh memasuki pekerjaan lapangan. Desain kualitatif memiliki sifat
luwes dan akan berkembang sesuai dengan berkembangnya pekerjaan.
9. Peneliti sebagai instrumen kunci
Peneliti kualitatif tidak memiliki formula baku untuk menjalankan
penelitiannya. Oleh karena itu, kompetensi peneliti menjadi aspek yang sangat
penting. Peneliti berperan besar dalam proses penelitian.
B. Ciri-Ciri yang akan
diteliti
untuk mengetahui
konflik moral, berikut ciri-ciri umum konflik moral:
1. Kesalahpahaman
Ciri umum pertama
adalah kecenderungan masing-masing pihak untuk terjadi salah paham atas
kata-kata dan tindakan pihak yang lain. Masyarakat dari tradisi yang tidak sebanding
mungkin akan mengalami masalah dalam berkomunikasi karena mereka bergantung pada
sistem arti, norma komunikasi, dan aturan tingkah laku yang berbeda.
2. Ketidakpercayaan
Ciri umum konflik moral
yang kedua adalah kecenderungan para anggota kelompok untuk tidak mempercayai
dan curiga terhadap kelompok lain, bahkan juga menumbuhkan rasa bahwa kelompok
lain memiliki potensi untuk membahayakan kelangsungan hidup kelompoknya. Dengan
adanya perbedaan dalam hal nilai dan sistem arti tersebut, tindakan yang
dilakukan
oleh salah satu pihak untuk
menyelesaikan konflik seringkali akan disalahartikan sebagai tindakan mengancam
bagi pihak yang lain.
3. Komunikasi
yang Kaku dan Kasar
Ciri umum lain dari
konflik moral adalah adanya kekakuan hubungan dan komunikasi antar pihak.
Ketika retorika komunikasi terdiri dari timbal-balik alasan untuk membentuk
kepercayaan bersama, maka pola komunikasi dalam konflik moral justru terdiri
dari serangan personal, seperti celaan
dan kata-kata kasar.
4. Stereotipe
Negatif
Percakapan seringakali
mengandung generalisasi terhadap anggota kelompok lain. Pihak yang terlibat
dalam konflik moral cenderung, hanya dengan berdasarkan dugaan, mengelompokkan
dan mencela kepribadian, intelegensia, dan perilaku sosial pihak lawannya.
Mereka akan membentuk stereotipe negatif dan menyandangkan degradasi moral atau
karakter negatif lainnya kepada pihak yang tidak sesuai dengan budaya mereka,
dengan mengesampingkan anggota meyimpang dari pihaknya sendiri, dan menganggap
seluruh anggota kelompoknya sebagai berbudaya. Hal ini seringkali disebut oleh
psikolog sebagai kesalahan anggapan (attribution
error).
5. Ketiadaan
Negosiasi
Sistem kepercayaan ini
mengakibatkan asumsi-asumsi penting dan cara pandang global tidak bisa
dikompromikan. Keterikatan yang kuat terhadap ideologi bisa membuat seseorang
susah untuk mendekati pihak yang memiliki cara pandang berbeda dengan pikiran
terbuka
C. Subyek Penelitian
Penelitian ini lebih difokuskan untuk memahami konflik moral dan
perkembangan spiritual yang dialami oleh anak yang memiliki orangtua beda
agama. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti menentukan kriteria subjek
penelitian adalah remaja usia 20 tahun, laki-laki, status perkawinan orang tua
beda agama hingga saat ini dan belum menikah.
D.Metode Pengumpulan
Data
Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang memfokuskan pada
pemahaman sesuatu gejala, maka metode pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wawancara sebagai metode utama dan observasi sebagai data
pelengkap.
1. Wawancara
Metode yang digunakan
untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode wawancara mendalam.
Wawancara kualitatif dilakukan dengan maksud antara lain untuk mengkonstruksi
mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan,
kepedulian sebagai yang dialami masa lalu dengan memproyeksikan hal yang dialami pada masa
yang akan datang memverifikasi,
mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain, dan
memverifikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yangdikembangkan oleh
peneliti sebagai pengecekan anggota ( Moleong, 2001).
Metode wawancara merupakan metode yang paling
tepat, disebabkan karena metode tersebut bersifat langsung antara peneliti
dengan yang diteliti, sehingga diharapkan akan terbentuk suatu hubungan yang
akrab dan menumbuhkan kepercayaan subyek pada peneliti. Menurut Loflan dan
Lofland (dalam Moleong, 2007 : 157) sumber data utama dalam penelitian
kualitatif.
2. Observasi
Observasi berasal dari bahasa latin yang berarti memperhatikan dan
mengikuti. Memperhatikan dan mengikuti dalam arti mengamati dengan teliti dan
sistematis sasaran perilaku yang dituju Banister (Herdiansyah, 2011 : 131).
Cartwright & Cartwright mendefinisikan sebagai suatu proses melihat,
mengamati, dan mencermati serta “merekam” perilaku secara sistematis untuk
suatu tujuan tertentu. Observasi ialah suatu kegiatan mencari data yang dapat
digunakan untuk memberikan suatu kesimpulan atau diagnosis.
E.
Kriteria Keabsahan Data
F. Pertanyaan Penelitian
G.
Kriteria Keabsahan Data
H.
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan
uraian dan teori mengenai konflik moral anak pada pasangan beda agama, maka
dapat diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1.
Bagaimana konflik moral yang terjadi
pada anak pasangan beda agama dalam proses perkembangan keagamaan anak ?
2.
Konflik moral apa saja yang dialami oleh
anak ?
3.
Bagaimana dampak perkembangan anak sehubungan
dengan konflik moral pada pasangan berbeda agama ?
4.
Bagaimana menumbuhkan kepercayaan agama
pada anak pasangan beda agama ?
5.
Bagaimana proses perkembangan spiritual
terhadap konflik moral anak pasangan beda agama ?
6.
Situasi apa saja yang dialami anak pada
masa perkembanganya sehubungan dengan konflik moral anak pasangan beda agama ?
7.
Bagaimana peran orang tua dalam
menentukan keyakinan agama yang akan di yakini anak ?
Daftar
Pustaka
Thouless,
R.H. 1992. Pengantar Psikologi Agama.
Jakarta : PT Rajawali Pers.
Artanto,
D.R. 2006. Konsep Tuhan Pada Anak Usia
Akhir Operasional Konkret. Psikologika, Nomor 21, Tahun XI, Januari 2006,
5-21.
Monks,
F.J., Knoers, A.M.P., Haditomo, S.R. 2002. Psikologi
Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagian nya. Yogyakarta. Gadjah Mada
University Press.
Desmita. 2009. Psikologi
Perkembangan Peserta Didik. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Decew, Judith Wagner, 1990, “Moral Conflicts and
Ethical Relativism,” Ethics.
Moleong,
L.J.Dr.MA. (2001). Metodologi penelitian
kualitatif (Cet.13). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Poerwandari, Kristi. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Fakultas
Psikologi, Universitas Indonesia : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan
Pendidikan Psikologi (LPSP3).
Harrah's Casino Atlantic City - MapYRO
ReplyDeleteFind Harrah's Casino Atlantic City, 양산 출장마사지 NJ, United 충주 출장샵 States, 08401 location, Hotel Atlantic City 속초 출장샵 Hotel and Casino 나주 출장마사지 Atlantic City in Atlantic City, 시흥 출장샵 NJ 08401.