EbPaidRev

Wednesday, 6 April 2016

KONFLIK MORAL PASANGAN BEDA AGAMA proposal skripsi



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis/suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan-perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang selanjutnya kita sebut sebagai “pernikahan beda agama’.Pernikahan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuatsebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga.
Pernikahan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan pernikahan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing. undang-undang perkawinan Indonesia yaitu pasal 1 dan pasal 2 UU perkawinan No. 1 tahun 1974.
 Seperti yang tercantum dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal 1 yang bila di perinci yaitu :
1.      Perkawinan adalah Ikatan lahir bathin antara seorang Pria dan seorang wanita sebagai Suami-Isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
2.      perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, Akan tetapi juga mempunyai unsur bathin atau rohani mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera.
3.      Ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa
 pernikahan, tidaklah lepas dari kehadiran seorang anak diantara mereka. Anak merupakan hal terindah yang dimiliki  dalam sebuah keluarga, pentingnya sebuah pendidikan yang baik adalah hal utama yang diberikan pada anak oleh orangtua, begitupan dalam penanaman nilai-nilai agama, mengingat begitu pentingnya agama sebagai dasar moral bagi seorang anak. Namun bagaimana bila anak dalam sebuah keluarga yang memilki orangtua berbeda agama, pendidikan agama seperti apa yang akan diberikan orangtua dalam keluarga, bagaimana orangtua mengenalkan pebedaan yang ada, dan hal-hal tersebut tentunya baik atas dasar kompromi orangtua atau mungkin semua akan berjalan tanpa ada komitmen apapun sebelumnya dari orangtua. Apapun keadaan yang telah dikompromi atau belum terkompromi oleh orangtua, belum tentu nantinya akan dapat diterima oleh anak.
Peran orang tua dalam menanamkan kepercayaan atas Tuhan kepada anak dan remaja pastilah sangat penting. Kebenaran pandangan ini sekurang-kurangnya disampaikan Artanto (2006) melalui penelitian yang bertopik Konsep Tuhan pada Anak Usia Akhir Operasional Kongkrit. Artanto mengungkapkan bahwa gagasan yang dimiliki anak mengenai tuhan lebih merupakan doktrin yang dihasilkan dari pengajaran.
Dalam sebuah keluarga anak dapat memilih agama yang akan di yakini ayah atau ibunya, bila dalam satu keluarga tersebut memiliki anak lebih dari satu, kemungkinan anak-anak nya memiliki perbedaan agama antara kakak dan adik, atau orang tuanya sudah menegosiasikan masa depan agama anaknya sejak awal akan ikut ayah atau ibunya. Pada situasi tersebut baik secara langsung atau tidak langsung tentunya akan membawa kebinggungan pada anak, karena norma dan nilai pada masa anak-anak diperoleh melalui dari kecil melalui proses imitasi, indentifikasi, asimilasi dan sosialisasi dengan orang lain seperti orang tua, teman, guru dan orang terdekat lainnya Lute (dalam Monks, 2002) , pada hal ini tentunya orang tua memiliki peran yang besar dalam proses penanaman nilai baik pada anaknya karena orang tua adalah tempat awal kehidupan anaknya. Pernikahan pada pasangan yang berbeda agama adalah suatu kontroversi tersendiri dalam hidup keberagamaan di masyarakat.pada pasangan keluarga beda agama tentunya tidak hanya timbul konflik antara kedua pasangan atau orang tua namun juga terjadi konflik bagi anak. peneliti tentunya merasa tertarik untuk lebih mengetahui, mengungkap  konflik-konflik yang di alami anak dalam keluarga pasangan beda agama khususnya dari segi konflik moral pada anak tersebut dan bagaimana perkembangan keagamaan pada dirinya.Agama tentunya menjadi konflik tersendiri dalam proses penanaman dan pemilihanya.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1.      Bagaimana konflik moral yang dialami anak pada pasangan berbeda agama
2.      Bagaimana dampak konflik moral terhadap perkembangan anak sehubungan dengan konflik moral yang dialami anak pada pasangan berbeda agama.

C. Tujuan Penelitian
Peneliti memiliki tujuan mengetahui dan mengungkap konflik-konflik pada pasangan beda agama yang terjadi  khususnya bagaimana konflik moral yang dialami anak dan bagaimana dampak konflik moral terhadap perkembangan  anak tersebut.

D. Manfaat Penelitian
1.   Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan terhadap khasanah ilmu pengetahuan dan sebagai bahan kajian ilmiah dalam psikologi perkembangan pada umumnya dan khususnya dalam perkembangan anak.


2.   Manfaat Praktis
Penelitian ini menjadi masukan bagi orang tua dengan status perkawinan  beda agama diharapkan mampu memahami dan memperhatikan proses perkembangan diri anak dan dampak psikologi serta tetap mendampingi anak-anaknya dalam perkembangan agamanya.


BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Konflik Moral

1. Pengertian Konflik Moral
a. Pengertian Konflik
Giddens (dalam Susan, 2009:31) mengemukakan bahwa pendekatan primordial menganggap konflik sebagai akibat dari pergesekan kepentingan kelompok identitas, seperti; identitas yang berbasis pada etnis, keagamaan, budaya, geografis, bangsa, bahasa, tribal, kepercayaan, religius, kasta, dan lain sebagainya. Pendapat Giddens menyiratkan makna bahwa pendekatan primordial melihat identitas-identitas tersebut merupakan potensi konflik, dimana potensi konflik itu dibentuk melalui serangkaian proses panjang, yang diwariskan secara turun-temurun melalui sosialisasi dalam institusi keluarga. Adanya hal ini memperkuat asumsi bahwa potensi tersebut telah mengakar dalam diri individu.
Konflik merupakan sesuatu yang biasa terjadi dalam kehidupan individu ketika seseorang dihadapkan pada dua atau beberapa hal yang saling bertentangan. Konflik terjadi jika seseorang dihadapkan pada aspek-aspek yang berbeda atau bertentangan. Freud dengan penelitian psikoanalisis menyatakan bahwa konflik adalah bagian dari dinamika kepribadian seseorang. Melalui pembentukan id, ego, dan super ego seseorang akan mengalami konflik antara apa yang diinginkan dengan apa yang seharusnya diinginkan dan bagaimana realita disekitarnya (Shantz dan Hartup, 1992)
b. Pengertian Moral
Secara etimologis istilah moral berasal dari kata latin mos (mores) yang berarti tata cara, adat istiadat atau kebiasaan. Kata moral mempunyai arti yang sama dengan kata Yunani ethos, yang menurunkan kata etika. Bahasa Arab kata moral disebut dengan akh/ak yang berarti budi pekerti, sedangkan dalam bahasa Indonesia kata moral dikenal dengan arti kesusilaan (Adiwardhana, 1991: 55).
Hurlock (1978) mengemukakan bahwa tingkah laku moral berarti tingkah laku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. Pengertian ini hampir sama dengan pendapat sebagian besar ahli psikologi dalam menerangkan masalah moral. Penganut teori behaviorisme menyatakan bahwa moralitas identik dengan konfonnitas terhadap aturan-aturan sosial. Nilai moral merupakan evaluasi dari tindakan yang dianggap baik oleh anggota masyarakat tertentu. Dengan demikian jelas bahwa pemahaman moral merupakan proses internalisasi dari norma budaya atau norma dari orangtua (Setiono, 1993).
c. Konflik Moral
Thoulles (1992: 20) menyatakan konflik moral merupakan konflik psikologik dimana salah satu cara untuk menunjukan realitas ini adalah bahwa dia cenderung mengembangkan perasaan bersalah ketika dia berperilaku dengan cara yang dianggap salah oleh pendidikan sosial yang diterimanya
Setiono (dalam Muslimin, 2004: 50) menjelaskan bahwa menurut teori penalaran moral, moralitas terkait dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana orang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk. Moralitas pada dasarnya dipandang sebagai pertentangan (konflik) mengenai hal yang baik disatu pihak dan hal yang buruk dipihak lain.  Keadaan konflik tersebut mencerminkan keadaan yang harus diselesaikan antara dua kepentingan, yakni kepentingan diri dan orang lain, atau dapat pula dikatakan keadaan konflik antara hak dan kewajiban.
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian konflik moral adalah sebuah aturan moral yang berkaitan erat dengan aturan-aturan yang dipandang sebagai pertentangan (konflik) antara dua kepentingan ,kepentingan diri dan orang lain.
2. Ciri-ciri Konflik Moral
untuk mengetahui konflik moral, berikut ciri-ciri umum konflik moral:
a. Kesalahpahaman
Ciri umum pertama adalah kecenderungan masing-masing pihak untuk terjadi salah paham atas kata-kata dan tindakan pihak yang lain. Masyarakat dari tradisi yang tidak sebanding mungkin akan mengalami masalah dalam berkomunikasi karena mereka bergantung ada sistem arti, norma komunikasi, dan aturan tingkah laku yang berbeda. 
b. Ketidakpercayaan
Ciri umum konflik moral yang kedua adalah kecenderungan para anggota kelompok untuk tidak mempercayai dan curiga terhadap kelompok lain, bahkan juga menumbuhkan rasa bahwa kelompok lain memiliki potensi untuk membahayakan kelangsungan hidup kelompoknya. Dengan adanya perbedaan dalam hal nilai dan sistem arti tersebut, tindakan yang dilakukan
oleh salah satu pihak untuk menyelesaikan konflik seringkali akan disalahartikan sebagai tindakan mengancam bagi pihak yang lain. 
c. Komunikasi yang Kaku dan Kasar
Ciri umum lain dari konflik moral adalah adanya kekakuan hubungan dan komunikasi antar pihak. Ketika retorika komunikasi terdiri dari timbal-balik alasan untuk membentuk kepercayaan bersama, maka pola komunikasi dalam konflik moral justru terdiri dari serangan personal,  seperti celaan dan kata-kata kasar. 
d. Stereotipe Negatif
Percakapan seringakali mengandung generalisasi terhadap anggota kelompok lain. Pihak yang terlibat dalam konflik moral cenderung, hanya dengan berdasarkan dugaan, mengelompokkan dan mencela kepribadian, intelegensia, dan perilaku sosial pihak lawannya. Mereka akan membentuk stereotipe negatif dan menyandangkan degradasi moral atau karakter negatif
lainnya kepada pihak yang tidak sesuai dengan budaya mereka, dengan mengesampingkan anggota meyimpang dari pihaknya sendiri, dan menganggap seluruh anggota kelompoknya sebagai berbudaya. Hal ini seringkali disebut oleh psikolog sebagai kesalahan anggapan (attribution error).
e. Ketiadaan Negosiasi
Sistem kepercayaan ini mengakibatkan asumsi-asumsi penting dan cara pandang global tidak bisa dikompromikan. Keterikatan yang kuat terhadap ideologi bisa membuat seseorang susah untuk mendekati pihak yang memiliki cara pandang berbeda dengan pikiran terbuka
Berdasarkan ciri-ciri konflik moral peneliti menyimpulkan bahwa untuk mengetahui ciri konflik moral secara umum terjadi dari dalam dan dari luar individu itu sendiri, dari dalam individu seperti munculnya ketidak percayaan pada pihak atau kelompok lain muncul kecenderungan terhadap perbedaan nilai atau arti sebuah sistem, dan dari luar individu seperti terjadinya kesalahan komunikasi antara satu pihak dengan pihak lain.




3. Bentuk Konflik Moral
Hampshire membedakan dua bentuk konflik moral, yang keduanya berhubungan dengan dilema pelaku tunggal (Decew, 1990: 27), yakni :
a)      Dimana dua sumber cita-cita moral saling bersaing. Adanya cita-cita abstrak dan tanpa batas waktu yang sangatlah alamiah dan universal dan juga memunculkan tanggung jawab-tanggung jawab yang menurut kita tidak bisa kita abaikan sebagai manusia. Tetapi pada saat yang sama, kita juga memiliki cita-cita yang lebih pribadi yang berasal dari tradisi atau kesepakatan, yang kemudian memunculkan aturan-aturan moral yang beragam dan berbagai tanggung jawab yang bisa diubah dan bersifat sementara. Begitu juga dengan standar moral dan prinsip-prinsip yang muncul dari dua sumber tersebut. Itulah yang menyebabkan tanggung jawab moral kita seringkali bertentangan.
b)      Ada konflik yang muncul karena pilihan moral. Setiap kali pilihan moral atau politik dibuat, pasti ada konsekuensi etisnya. Dengan menggunakan bentuk keadilan alternatif, Hampshire menggambarkan konflik yang dialami seseorang saat memilih dua hal yang tampaknya sama, pada akhirnya malah membuatnya kehilangan pilihan alternatif yang sebenarnya lebih baik. 
Berdasarkan bentuk-bentuk konflik moral Hampshire (Decew, 1990) peneliti menyimpulkan dalam sebuah aturan-aturan standart moral dan prinsip-prinsip terkadang bertentangan dengan tanggung jawab dan munculnya konflik karena pilihan moral dalam menentukan dua pilihan untuk menentukan hal yang benar dan hal yang salah.



B. Anak Pasangan Beda Agama

1. Pengertian Anak Pasangan Beda Agama
Anak pasangan beda agama adalah hasil hubungan antara laki-laki dewasa dan wanita dewasa yang menjalin ikatan secara hukum. Pada awalnya anak pasangan beda agama ini tumbuh secara normal seperti kehidupan anak pada umumnya yang membedakan hanya pada status sosial pada anak yang kelak memberikan identitas dirinya pada masyarakat  ada awalnya saat masih kecil, anak akan hanya mengalami kebinggungan-kebinggungan dalam tata cara ibadah, namun dengan perkembangannya anak akan tumbuh dewasa dan menjadi seorang remaja, disini dampak dalam perbedaan agama akan sangat mempengaruhi anak dalam situasi-situasi yang ada. Pada tahap ini mereka diliputi kebimbangan akan jati dirinya, dalam rangka mencari identitas ini, kaum remaja berkewajiban merumuskan nilai-nilai idealnya, kemudian mengintegrasikan nilai-nilai tersebut pada filsafat kehidupannya untuk melakukan suatu pilihan-pilihan penting yang menentukan masa depannya (Arto, 1990 dalam Waruwu 2003). Disini komponen religi pun turut serta berada dalam krisis. Kaum remaja berupaya menemukan berbagai potensi yang ada dalam dirinya dan mencoba mencapai suatu integrasi baru dengan mengolah seluruh keberadaannya hingga kini, termasuk juga keyakinan-keyakinan religiusnya (Milanesi & Aletti, 1973 dalam Waruwu, 2003). Anak akan mempertanyakan kembali akan keyakinan-keyakinan yang ia terima dalam keluarga. Dan situasi yang dalam hal ini perbedaan agama, anak  akan mengalami konflik dalam dirinya berkaitan  dengan nilai-nilai yang berbeda. 

Menurut Fowler (dalam Desmita, 2009:279) tahap perkembangan spiritual dan keyakinan dapat berkembang hanya dalam lingkup perkembangan intelektual dan emosional yang dicapai oleh seseorang. Dan ketujuh tahap perkembangan spiritual yaitu:
a)      Tahap prima faith. Tahap kepercayaan ini terjadi pada usia 0-2 tahun yang ditandai dengan rasa percaya dan setia anak pada pengasuhnya. Kepercayaan ini tumbuh dari pengalaman relasi mutual. Berupa saling memberi dan menerima yang diritualisasikan dalam interaksi antara anak  dan pengasuhnya.
b)      Tahap intuitive-projective, yang berlangsung antara usia 2-7 tahun. pada tahap ini kepercayaan anak bersifat peniruan, karena kepercayaan yang dimilikinya masih merupakan gabungan hasil pengajaran dan contoh-contoh signitif dari orang dewasa, anak kemudian berhasil merangsang, membentuk, menyalurkan dan mengarahkan perhatian sepontan serta gambaran intuitif  dan proyektifnya pada ilahi.
c)      Tahap mythic-literalfaith, Dimulai dari usia 7-11 tahun. pada tahap ini, sesuai dengan tahap kongnitifnya, anak secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya. Gambaran tentang tuhan diibaratkan sebagai seorang pribadi, orangtua atau penguasa, yang bertindak dengan sikap memerhatikan secara konsekuen, tegas dan jika perlu tegas.
d)     Tahap synthetic-conventionalfaith, yang terjadi pada usia 12-akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Kepercayaan remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran tentang simbolisme dan memiliki lebih dari satu cara untuk mengetahui kebenaran. Sistem kepercayaan remaja mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya, namun kesadaran kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal, sehingga menjadikan remaja melakukan kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan oleh lembaga keagamaan resmi kepadanya. Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan yang transenden melalui simbol dan upacara keagamaan yang dianggap sakral. Simbol-simbol identik kedalaman arti itu sendiri. Tuhan di pandang sebagai “pribadi lain” yang berperan penting dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu, Tuhan dipandang sebagai sahabat yang paling intim, yang tanpa syarat. Selanjutnya muncul pengakuan bahwa Tuhan lebih dekat dengan dirinya sendiri. Kesadaran ini kemudian memunculkan pengakuan rasa komitmen dalam diri remaja terhadap sang khalik.
e)      Tahap individuative- reflectivefaith, yang terjadi pada usia 19 tahun atau pada masa dewasa awal, pada tahap ini mulai muncul sintesis kepercayaan dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaan tersebut. Pengalaman personal pada tahap ini memainkan peranan penting dalam kepercayaan seseorang. Menurut Fowler (dalam Desmita 2009:280) pada tahap ini ditandai dengan:
a.       Adanya kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain, individu mengambil jarak kritis terhadap asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu.
b.      Mengabaikan kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan munculnya “ego eksekutif” sebagai tanggung jawab dalam memilih antara prioritas dan komitmen yang akan membantunya membentuk identitas diri.
f)       Tahap Conjunctive-faith, disebut juga paradoxical-consolidationfaith, yang dimulai pada usia 30 tahun sampai masa dewasa akhir. Tahap ini ditandai dengan perasaan terintegrasi dengan simbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang juga lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan yang paradoks dan bertentangan, yang berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan pembatasan seseorang.
g)      Tahap universalizing-faith, yang berkembang pada usia lanjut. Perkembangan agama pada masa ini ditandai dengan munculnya sistem kepercayaan transcidental untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta adanya desentralisasi diri dan pengosongan diri. Peristiwa-peristiwa konflik tidak selamanya dipandangan sebagai paradoks, sebaliknya, pada tahap ini orang mulai berusaha mencari kebenaran universal. Dalam proses pencarian kebenaran ini, seseorang akan menerima banyak kebenaran dari banyak titik pandang yang berbeda serta berusaha menyelaraskan perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling tua.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli pada anak pasangan beda agama peneliti menyimpulkan bahwa anak pada pasangan beda agama mengalami beberapa tahap perkembangan dari usia dini hingga usia lanjut kususnya dalam perkembangan spiritual
 
2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Spritual

Menurut Fowler dalam Desmita (2009:285) ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan spiritual individu yaitu :

a)   Pembawaan
Yang dimaksud pembawaan disini adalah karakteristik dari orang itu sendiri, dasr pemikiran dari individu barsarkan kepercayaan dan budaya dimilikinya.
b)   Lingkungan keluarga
Keluarga sangat menentukan perkembangan spiritual anak karena orang tua lah yang berperan sebagai pendidik atau penentu keyakinan yang mendasari si anak.

c)   Lingkungan sekolah
Pendidkan keagamaan yang diterapkan disekolah dapat mempengaruhi perkembangan spiritual anak, karena dengan adanya pendidikan anak akan mulai berpikir secara logika dan menentukan apa yang baik dan tidak bagi dirinya dan kelak akan menjadi karakter anak tersebut.
d)  Lingkungan masyarakat
Kebaradan budaya yang ada yang ada dimasyarakat akan mempengaruhi perkembangan anak. Apakah perkembangannya menuju arah yang baik (positif) dan yang (negatif) itu semua tergantung pada bagaimana cara anak berinteraksi dengan masyarakat.

Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan spiritual, peneliti menyimpulkan bahwa perkembangan spiritual dapat dilihat dari faktor internal dan eksetranal, dari faktor internal seperti pembawaan karakteristik orang itu sendiri dan lingkungan keluarga dan faktor eksternal meliputi lingkungan sekolah dan masyarakat

C. Konflik Moral Anak Pasangan Beda Agama

Pernikahan beda agama adalah pernikahan yang sangat rentan konflik. Agama yang menjadi dasar bagi setiap individu sebagai falsafah hidup atau solusi setiap masalah. Setiap agama memiliki nilai-nilai dan aturan yang berbeda-beda walaupun secara universal, setiap agama itu baik. Agama menjelaskan manusia cara memandang dunia seharusnya berjalan. Selain itu, agama juga memberikan aturan dan norma yang menjelaskan tentang apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, hal ini berkaitan dengan pahala dan dosa. Norma ini disebut landis sebagai sebuah kontrol sosial (Kusuma, 2006). Agama juga mengatur tentang beberapa peristiwa penting dalam kehidupan manusia, misalnya kelahiran, pubertas, perkawinan dan kematian. Ajaran setiap agama itu baik namun tetap saja perbedaan-perbedaan nilai-nilai yang ada secara spesifik berbeda. Seperti mengenai hukum halal-haram dalam islam, sedangkan pada agama lain mungkin tidak ada hukum tersebut. Dalam kehidupan perkawian akan banyak dijumpai stresor psikososial lainnya selain perbedaan agama, yaitu antara lain masalah pekerjaan, keuangan, sosial-ekonomi, lingkungan, hubungan interpersonal, masalah perkembangan, problem oarng tua dan sebagainya. Di tinjau dari kesehatan jiwa (mental health) pernikahan antar agama menagndung resiko terjadinya konflik-konflik kejiwaan yang pada gilirannya dapat mernurunkan taraf kesehatan dari salah satu pasangan atau keduanya, demkian  juga dengan perkembangan jiwa anak (hawari, 2006: 112).

Berdasarkan beberapa ahli tersebut peneliti menyimpulkan konflik moral pada anak pasangan berbeda agama tidak hanya di tinjau dari kehiduan kedua pasangan atau stressor psikososial seperti pekerjaan, keuangan, sosial-ekonomi, lingkungan, hubungan interpersonal, namun juga perkembangan yang dialami pada anak pasangan berbeda agama dengan tahapan usia dari usia dini hingga usia lanjut.







D. Kerangka Teori Penelitian

Anak Pasangan Beda Agama
 


Konflik Moral


Perkembangan Anak                                                Pasangan beda agama


Mengalami kebingungan dalam beribadah                Konflik dalam menentukan agama anak
/ Tata cara

Proses tumbuh dalam lingkungan sosial              

Penentuan jati diri / Identitas (Status Sosial)

BAB III
METODE PENELITIAN
A.    Metode Penelitian Kualitatif
Berdasarkan sifat masalahnya penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dimana dalam pendekatannya mempertimbangkansuatu peristiwa yang mempunyai makna dan arti tertentu yang tidak bisadiungkap secara kuantitatif, atau dengan angka-angka. pendekatan kualitatif, Bogdan dan Taylor sebagaimana (dikutip Moleong, 2001: 3), mendefinisikan “pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”
Nawawi (2005: 3) menyebutkan bahwa dalam metode kualitatif terdapat usaha untuk mengungkap maslah atau peristiwasebagaimana adanya. Lebih lanjut, penelitian ini akan mengolah data-data yang sifatnya deskriptif. Data deskriptif ini memiliki berbagai macam bentuk, misalnya tanskripsi (data dari sumber-sumber referensial, hasil wawancara baik primer maupun sekunder, dan catatan lapangan hasil observasi), gambar-gambar, foto, rekaman hasil wawancara dan sebagainya (Poerwandari, 2001, h.29)
Di dalam penelitian ini, penekatan yang digunakan adalah fenomenologi dengan paradigma naturalistik. Menurut Poerwandari (2001, h.30-31), memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.   Studi dalam situasi alamiah
Desain penelitian kualitatif bersifat alamiah dalam arti peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi setting penelitian melainkan studi terhadap suatu fenomena dalam situasi dimana fenomena tersebut ada.
2.   Analisis induktif
Dikatakan induktif karena peneliti tidak memaksakan diri untuk hanya membatasi diri pada menerima atau menolak digaan-dugaan melainkan mencoba memahami situasi sesuai dengan bagaimana situasi tersebut menampilkan diri. Analisis induktif dimulai dengan observasi khusus yang akan memunculkan tema-tema, kategori-kategori dan pola-pola hubungan di antara kategori-kategori tersebut.
3.   Kontak personal langsung : peneliti di lapangan
Pemahaman situasi nyata sehari-hari merupakan hal yang sangat penting karena hal tersebut akan memungkinkan adanya pengertian tentang tingkah laku yang tampak maupun kondisi-kondisi internal manusia seperti pendangan hidupnya, nilai-nilai yang dipegang, pemahaman tentang diri dan lingkungan, bagaimana peneliti mengembangkan pemahaman itu dan sebagainya.
4.   Perspektif
holistikPendekatan holistik mengamsumsikan bahwa keseluruhan fenomena perlu dimengerti sebagai suatu sistem yang kompleks dan bahwa yang menyeluruh tersebut lebih bermakna dari pada penjumlahan bagian-bagian.
5.   Perspektif dinamis, perspektif perkembangan
Penelitian kualtatif melihat gejala sosial sebagai sesuatu yang dinamis dan berkembang bukan sebagai sesuatu yang statis dan tidak berubah dalam perkembangan kondisi dan waktu.


6.   Orientasi pada kasus unik
Studi kasus sangat bermanfat ketika merasa perlu memahami suatu kasus spesifik, orang-orang tertentu, ataupun situasi unik secara mendalam.
7.   Netralis empatik
Netralis disini mengacu pada sikap peneliti terhadap subjek penelitian. Peneliti dengan netralis empatik akan memasuki arena penelitian apa adanya tanpa teori yang harus dibuktikan dan dugaan-dugaan tentang hasil yang harus didukung atau ditolak.
8.   Fleksibilitas desain
Sifat alamiah dn induktif dari penelitian kualitatif tidak memungkinkan peneliti menetukan secara tegas variabel-variabel operasional, menetapkan hipotesis yang akan diuji maupun menyelesaikan skema pengambilan sampel sebelum ia sungguh-sungguh memasuki pekerjaan lapangan. Desain kualitatif memiliki sifat luwes dan akan berkembang sesuai dengan berkembangnya pekerjaan.
9.   Peneliti sebagai instrumen kunci
Peneliti kualitatif tidak memiliki formula baku untuk menjalankan penelitiannya. Oleh karena itu, kompetensi peneliti menjadi aspek yang sangat penting. Peneliti berperan besar dalam proses penelitian.


B. Ciri-Ciri yang akan diteliti
untuk mengetahui konflik moral, berikut ciri-ciri umum konflik moral:
1.   Kesalahpahaman
Ciri umum pertama adalah kecenderungan masing-masing pihak untuk terjadi salah paham atas kata-kata dan tindakan pihak yang lain. Masyarakat dari tradisi yang tidak sebanding mungkin akan mengalami masalah dalam berkomunikasi karena mereka bergantung pada sistem arti, norma komunikasi, dan aturan tingkah laku yang berbeda. 
2.   Ketidakpercayaan
Ciri umum konflik moral yang kedua adalah kecenderungan para anggota kelompok untuk tidak mempercayai dan curiga terhadap kelompok lain, bahkan juga menumbuhkan rasa bahwa kelompok lain memiliki potensi untuk membahayakan kelangsungan hidup kelompoknya. Dengan adanya perbedaan dalam hal nilai dan sistem arti tersebut, tindakan yang dilakukan
oleh salah satu pihak untuk menyelesaikan konflik seringkali akan disalahartikan sebagai tindakan mengancam bagi pihak yang lain. 
3.   Komunikasi yang Kaku dan Kasar
Ciri umum lain dari konflik moral adalah adanya kekakuan hubungan dan komunikasi antar pihak. Ketika retorika komunikasi terdiri dari timbal-balik alasan untuk membentuk kepercayaan bersama, maka pola komunikasi dalam konflik moral justru terdiri dari serangan personal,  seperti celaan dan kata-kata kasar. 
4.   Stereotipe Negatif
Percakapan seringakali mengandung generalisasi terhadap anggota kelompok lain. Pihak yang terlibat dalam konflik moral cenderung, hanya dengan berdasarkan dugaan, mengelompokkan dan mencela kepribadian, intelegensia, dan perilaku sosial pihak lawannya. Mereka akan membentuk stereotipe negatif dan menyandangkan degradasi moral atau karakter negatif lainnya kepada pihak yang tidak sesuai dengan budaya mereka, dengan mengesampingkan anggota meyimpang dari pihaknya sendiri, dan menganggap seluruh anggota kelompoknya sebagai berbudaya. Hal ini seringkali disebut oleh psikolog sebagai kesalahan anggapan (attribution error).
5.      Ketiadaan Negosiasi
Sistem kepercayaan ini mengakibatkan asumsi-asumsi penting dan cara pandang global tidak bisa dikompromikan. Keterikatan yang kuat terhadap ideologi bisa membuat seseorang susah untuk mendekati pihak yang memiliki cara pandang berbeda dengan pikiran terbuka

C. Subyek Penelitian
Penelitian ini lebih difokuskan untuk memahami konflik moral dan perkembangan spiritual yang dialami oleh anak yang memiliki orangtua beda agama. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti menentukan kriteria subjek penelitian adalah remaja usia 20 tahun, laki-laki, status perkawinan orang tua beda agama hingga saat ini dan belum menikah.

D.Metode Pengumpulan Data
Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang memfokuskan pada pemahaman sesuatu gejala, maka metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara sebagai metode utama dan observasi sebagai data pelengkap.

1.   Wawancara
   Metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode wawancara mendalam. Wawancara kualitatif dilakukan dengan maksud antara lain untuk mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian sebagai yang dialami masa lalu dengan  memproyeksikan hal yang dialami pada masa yang akan datang  memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain, dan memverifikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yangdikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota ( Moleong, 2001).
  Metode wawancara merupakan metode yang paling tepat, disebabkan karena metode tersebut bersifat langsung antara peneliti dengan yang diteliti, sehingga diharapkan akan terbentuk suatu hubungan yang akrab dan menumbuhkan kepercayaan subyek pada peneliti. Menurut Loflan dan Lofland (dalam Moleong, 2007 : 157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif.
2. Observasi
Observasi berasal dari bahasa latin yang berarti memperhatikan dan mengikuti. Memperhatikan dan mengikuti dalam arti mengamati dengan teliti dan sistematis sasaran perilaku yang dituju Banister (Herdiansyah, 2011 : 131). Cartwright & Cartwright mendefinisikan sebagai suatu proses melihat, mengamati, dan mencermati serta “merekam” perilaku secara sistematis untuk suatu tujuan tertentu. Observasi ialah suatu kegiatan mencari data yang dapat digunakan untuk memberikan suatu kesimpulan atau diagnosis.


E. Kriteria Keabsahan Data


 F. Pertanyaan Penelitian




G. Kriteria Keabsahan Data

H. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian dan teori mengenai konflik moral anak pada pasangan beda agama, maka dapat diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1.      Bagaimana konflik moral yang terjadi pada anak pasangan beda agama dalam proses perkembangan keagamaan anak ?
2.      Konflik moral apa saja yang dialami oleh anak ?
3.      Bagaimana dampak perkembangan anak sehubungan dengan konflik moral pada pasangan berbeda agama ?
4.      Bagaimana menumbuhkan kepercayaan agama pada anak pasangan beda agama ?
5.      Bagaimana proses perkembangan spiritual terhadap konflik moral anak pasangan beda agama ?
6.      Situasi apa saja yang dialami anak pada masa perkembanganya sehubungan dengan konflik moral anak pasangan beda agama ?
7.      Bagaimana peran orang tua dalam menentukan keyakinan agama yang akan di yakini anak ?




Daftar Pustaka

Thouless, R.H. 1992. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta : PT Rajawali Pers.
Artanto, D.R. 2006. Konsep Tuhan Pada Anak Usia Akhir Operasional Konkret. Psikologika, Nomor 21, Tahun XI, Januari 2006, 5-21.
Monks, F.J., Knoers, A.M.P., Haditomo, S.R. 2002. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagian nya. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Decew, Judith Wagner, 1990, “Moral Conflicts and Ethical Relativism,” Ethics.
Moleong, L.J.Dr.MA. (2001). Metodologi penelitian kualitatif (Cet.13). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Poerwandari, Kristi. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3). 

1 comment:

  1. Harrah's Casino Atlantic City - MapYRO
    Find Harrah's Casino Atlantic City, 양산 출장마사지 NJ, United 충주 출장샵 States, 08401 location, Hotel Atlantic City 속초 출장샵 Hotel and Casino 나주 출장마사지 Atlantic City in Atlantic City, 시흥 출장샵 NJ 08401.

    ReplyDelete